Senin, 14 Desember 2015

AKSIOLOGI : NILAI KEGUNAAN ILMU

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Filsafat Ilmu
yang dibina oleh Bapak Kholid Zamzami


Oleh:
Moh. Faizal Arifin (14640012)
A. Athiyah Anshariyah (14640024)






UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM (UIN MALIKI) MALANG
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
JURUSAN FISIKA
September 2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan. Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan berfilsafatnya. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan.
Dalam melakukan pilihan ini manusia berpegang pada filsafat atau pengetahuan. Salah satu kajian di dalam filsafat ilmu adalah aksiologi yang mana aksiologi yaitu kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia Aksiologi adalah teori tentang nilai merupakan suatu bahan kajian yang menarik untuk dibahas. Karena didalammya terkandung nilai-nilai sebagai dasar normatif dalam penggunaan atau pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tak dapat disangkal lagi kontribusi ilmu bagi kepentingan umat manusia. Ilmu telah banyak mengubah dunia dalam memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian : ilmu selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia?. Memang dengan jalan mempelajari atom kita bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Usaha memerangi kuman yang membunuh manusia sekaligus menghasilkan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk membunuh sesama manusia pula. Sehingga timbul pertanyaan: apakah kehadiran ilmu itu sebuah berkah bagi kehidupan manusia ataukah malapetaka?
Dewasa ini, dalam perkembangannnya ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya, dimana ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Disinilah moral sangat berperan sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu serta dituntut tanggungjawab sosial ilmuwan dengan kapasitas keilmuwannya dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tujuan hakiki dalam kehidupan manusia bisa tercapai.

1.2         Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan ilmu?
2.      Apa pengertian dari aksiologi?
3.      Bagaimana peran ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia?
4.      Apa kegunaan aksiologi terhadap tujuan ilmu pengetahuan?
5.      Apa hubungan aksiologi dengan filsafat ilmu?
6.      Bagaimana Aksiologi : Nilai kegunaan ilmu?

1.3         Tujuan Penulisan
Dari latar belakang di atas dapat kita ambil tujuan dari penulisan makalah ini. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu kami akan menjelaskan tentang dimensi aksiologis di dalam kajian filsafat ilmu serta hubungannya dengan filsafat ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Ilmu
Secara definitif, ilmu adalah pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Maka, patutlah dikatakan, bahwa peradaban manusia sangat bergantung kepada ilmu dan teknologi. T. Jacob (1996: 5) memaparkan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu institusi kebudayaan, suatu kegiatan manusia untuk mengetahui tentang diri sendiri dan alam sekitarnya dengan tujuan untuk mengenal manusia sendiri, perubahan-perubahan yang dialami dan cara mencegahnya, mendorong atau mengarahkannya, serta mengenal lingkungan yang dekat dan jauh darinya, perubahan-perubahan lingkungan dan variasinya, untuk memanfaatkan, menghindari dan mengendalikannya. Bagian pengenalan merupakan dasar yang diperlukan oleh bagian tindakan, sehingga terdiferensiasilah ilmu dasar dan ilmu terapan. Ilmu terapan lebih dapat dilihat hasilnya dan dapat dirasakan oleh siapapun juga, entah itu bermanfaat atau tidak, menguntungkan atau justru merugikan (berdampak negatif). Maka dalam permasalahan ini muncul perbedaan pendapat mengenai kenetralan dan keobjektifan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu diperlukan adanya hukum, adat, agama, dan etika untuk mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan usia manusia, artinya ilmu pengetahuan baru akan berhenti tatkala manusia sudah tidak ada, karena hanya manusia yang diberi ilmu. Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan berkembang mengikuti misi si pengembang, atau lebih dikenal kemudian dengan sebutan para ilmuwan. Sebenarnya setiap manusia mampu menciptakan ilmu, tetapi kenyataan praktis secara implisit manusia hanya mengakui hasil pengetahuan yang diciptakan oleh para ilmuwan. Artinya, yang mendapat pengakuan adalah pengetahuan ilmiah dan pengetahuan non ilmiah yang sudah dinobatkan sebagai ilmu pengetahuan yang sah. Maka ilmu pengetahuan kemudian dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial.
Habermas mengemukakan perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Yaitu, pengetahuan adalah aktivitas, proses, kemampuan dan bentuk kesadaran manusiawi (Hardiman, 1990). Sedangkan ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang direfleksikan secara metodis (Hardiman, 1990). Dari hal itu dapat dikemukakan bahwa secara fenomena ilmu pengetahuan dipandang sebagai produk, proses dan paradigma etika (sikap atau nilai)
Ilmu sebagai hasil aktivitas manusia yang mengkaji berbagai hal, baik diri manusia itu sendiri maupun realitas di luar dirinya, sepanjang sejarah perkembangannya sampai saat ini senantiasa mengalami ketegangan dengan berbagai aspek lain dalam kehidupan manusia. Dalam prakteknya orang senantiasa memperbincangkan hubungan timbal-balik antara ilmu dan teknologi. Dalam dataran nilai, polemik yang muncul justru lebih kompleks, karena hal itu berhubungan erat dengan kedudukan dan peran ilmu dan teknologi dalam perubahan peradaban manusia, baik yang berhubungan dengan pergeseran nilai maupun dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap komponen-komponen pengetahuan manusia yang lain. Kerapkali munculnya polemik antara terjadinya gejala marginalisasi (penggeseran) nilai maupun aspek pengetahuan menjadi lain apabila dihadapkan dengan kebenaran ilmiah. Bukan itu saja, ternyata bila diadakan pengujian terhadap kebenaran ilmiah dengan parameter teknologi mutakhir, maka hasil yang dicapai dengan yang diharapkan akan berbeda. Meluas dan meningkatnya peran “ilmu” dan “teknologi” tidak dipungkiri telah membawa keterasingan (alienasi) manusia dari dirinya sendiri dan masyarakat, atau oleh yang oleh Herbert Marcuse (Sudarminta, 2002: 121-139) hal ini mengantar manusia pada suatu kondisi yang berdimensi satu. Dimensi satu itu dimaksudkan adalah dimensi teknologis, yang dapat dilihat dalam kehidupan sosio-budayanya. Manusia dan kebudayaannya telah “dikuasai” oleh ilmu dan teknologi. Apakah dengan ini maka ilmu telah menghilangkan kemanusiaan dan otonomi manusia?
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, para ilmuwan mengambil objek material sesuai dengan kebutuhan. Hasil terapan pengembangan ilmu pengetahuan lalu disebut dengan teknologi.

2.2         Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika[[1]]. Dalam Encyclopedia of Philosophy (dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation
Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian[[2]]
Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.[[3]]
Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar.
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. (Koento, 2003: 13). Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi :
a.       Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.[[4]]
b.      Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.[[5]]
c.       Scheleer dan Langeveld memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.  
d.      Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
e.       Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.[[6]]
Menurut Bramel dalam Amsal (2009), Aksiologi terbagi tiga bagian[[7]] :
a.       Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
b.      Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
c.       Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social politik.

2.3         Peran Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan Manusia
Capra menyatakan, bahwa budaya dunia (dalam hal ini adalah Barat, dengan segala aspek kemajuan yang mereka peroleh) telah terpuruk di lembah kehancuran, penuh kontradiksi, dan kacau. Penyebabnya adalah tidak tepatnya paradigma yang digunakan dalam penyusunan kebudayaan barat. Jika analisa Capra di atas dikorelasikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala dampaknya, seperti dijelaskan di atas, kayaknya analisa tersebut sangat relevan.
Menurut Holmes Rolston III, kerangka kerja ilmiah yang digunakan para ilmuwan modern telah mengalami proses sekularisasi. Menurut Rolston, dahulu, penjelasan ilmiah harus meliputi empat sebab Aristotelian, yaitu efisien, material, formal, dan final. Kemudian, oleh para ilmuwan modern, sebab formal dan final yang berkaitan dengan makna dilepas, karena kajian ilmiah menurut mereka hanya berkaitan dengan fakta, tidak dengan makna. Proses sekularisasi ilmu juga didorong oleh pandangan ideologis bangsa Eropa yang cenderung rasional dan sekular serta tidak mempercayai hal-hal yang bersifat metafisis atau spiritual.
Dari gambaran di atas, jelaslah bahwa para ilmuwan barat telah terjebak pada alam pemikiran materialistik, dan menolak pembicaraan tentang hal-hal yang bersifat metafisis dan spiritual. Karena paradigma yang mereka gunakan hanya berdasar pada paradigma materialistik, maka dalam pengembangan ilmu pengetahuan pun, yang selanjutnya menghasilkan teknologi, mereka sama sekali tidak mendasarkan pada nilai-nilai yang telah digariskan Tuhan. Lebih lanjut, jika melihat kategorisasi dari Mahmud Muhammad Thaha tentang peradaban (madaaniyyah) dan kebudayaan (hadlaarah), akan terlihat lebih jelas kesesatan manusia modern dengan perkembangan iptek-nya. Menurut Thaha, peradaban adalah tujuan utama hidup manusia berupa kebahagiaan dan ketentraman hidup. Sementara kebudayaan hanyalah sarana atau alat untuk mencapai peradaban yang penuh dengan kebahagiaan dan ketentraman hidup.
Peradaban barat yang didasarkan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlalu silau dengan sarana dan alat yang mereka ciptakan sendiri, yaitu kemajuan iptek. Sementara tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu menciptakan masyarakat berperadaban (masyarakat madani) tidak pernah disentuh.
Dari penjelasan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mendudukkan kembali peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia. Agar peran ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi menjadi tujuan hidup manusia dan mengekploitasi kehidupan manusia, tetapi hanya sebagai sarana manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya.
Pertama, kita harus menetapkan strategi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjung oleh nenek moyang kita selama ini. Sebagai bahan acuan, buku Erich Schumacher yang berjudul Small is Beautiful merupakan salah satu usaha mencari alternatif penerapan teknologi yang lebih bersifat manusiawi
Kedua, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu diikutsertakan peran agama yang menyokong nilai-nilai moralitas. Karena pengembangan iptek tanpa didasari nilai-nilai moralitas hanya akan menciptakan bumerang yang akan mencekik penciptanya dan menimbulkan malapetaka kemanusiaan.
Ketiga, konsep ‘Tauhid’ perlu diikutsertakan dalam mengawal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam arti apapun yang dilakukan kita dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, harus selalu ditundukkan kepada Dzat Yang Menguasai alam semesta, yaitu Allah. Sehingga, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tujuan kita bukan mengeksploitasi kekayaan bumi atau memuaskan nafsu, tetapi dalam rangka beribadah kepada-Nya
Keempat, kembali kepada kategorisasi Mahmud Muhammad Thaha di atas, mulai saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi jangan lagi dijadikan sebagai tujuan hidup kita. Karena semua itu hanyalah kebudayaan atau sarana kita untuk mencapai tujuan hidup yang sejati, yaitu peradaban yang diliputi kebahagiaan dan ketentraman hidup.
Perlahan tapi pasti, tujuan mulia ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membantu manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, mengalami pergeseran. Teknologi yang sejatinya hanyalah sarana dan alat bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, berubah menjadi sesuatu yang diberhalakan. Padahal, seharusnya ilmu dan teknologi hanya sebagai alat dalam kehidupan, bukan sebagai gantungan atau andalan dalam kehidupan. Amien Rais menggambarkan, bahwa ada kecenderungan manusia modern untuk mengagung-agungkan atau menyembah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam pandangan manusia modern, iptek adalah means everything, segala-galanya. Solah-olah, di tangan iptek-lah kesejahteraan manusia masa depan akan digantungkan. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bumerang bagi manusia sebagai penggunanya, senjata makan tuan. Akibat penggunaan iptek yang salah kaprah dan tidak terkendali, teknologi hanyalah menciptakan alienasi, dehumanisasi, dan konsumerisme dalam kehidupan manusia. Tentang proses dehumanisasi akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, Jujun S. Suriasumantri, mengatakan bahwa iptek bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya. Tetapi, iptek malah menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Sementara itu, proses alienasi tercipta karena teknologi modern dengan sendirinya menghasilkan tatanan sosial, dengan pranata dan pelembagaannya, yang juga teknikalistik. Dalam keadaan seperti itu, manusia terasing dari dirinya sendiri dan dari nilai kepribadiannya, karena ia menjadi tawanan sistem yang melingkari kehidupannya.
Dalam gambaran Francis Fukuyama, dunia sekarang, yang memasuki era masyarakat post-industri, serta diiringi perkembangan ilmu dan teknologi yang tidak terkendali, tengah mengalami great disruption (goncangan luar biasa). Akibat dari goncangan ini adalah terjadinya ancaman serius bagi eksisnya nilai-nilai yang dianut masyarakat, dibarengi statistik kriminalitas yang makin meningkat, anak-anak yang kehilangan orang tua, terbatasnya akses dan kesempatan memperoleh pendidikan, saling tidak percaya, dan berbagai krisis kemanusiaan lainnya.
Untuk menggambarkan dampak negatif perkembangan iptek bagi kehidupan dunia sekarang, Anthony Giddens, seorang sosiolog terkenal, sengaja menulis sebuah buku yang cukup apresiatif, berjudul Runaway World. Giddens menjelaskan, bahwa proses globalisasi merupakan anak dari kemajuan ilmu dan teknologi. Tetapi, bukannya menciptakan kebahagiaan bagi manusia, globalisasi malah mencipatakan penyakit dan siap mengantarkan manusia menuju lembah kehancurannya. Globalisasi menciptakan berbagai resiko hidup dan ketidakpastian hidup yang melampaui kemampuan manusia untuk mengantisipasinya. Globalisasi juga menciptakan perubahan super dahsyat yang merombak dan memporak-porandakan tradisi, dimana nilai-nilai penyangga kehidupan manusia terbentuk. Tidak berhenti di situ saja, proses penghancuran ini pun merambah keluarga, komunitas terkecil tempat manusia hidup. Akibatnya, manusia semakin kehilangan tempat berpijak bagi kehidupannya.
Semua gambaran di atas hanyalah salah satu dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam aspek yang abstrak. Dampak dalam aspek yang lebih kongkrit akan lebih mengejutkan lagi. Francis Fukuyama menggambarkan, bahwa dampak paling krusial dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihadapi manusia saat ini, adalah menyangkut posisi revolusi bio-teknologi. Selain menghasilkan penemuan yang positif bagi kehidupan manusia, revolusi bio-teknologi juga menghasilkan bahaya besar melalui teror bom.
Selanjutnya, Nurcholish Madjid menyebutkan, bahwa peningkatan hidup material manusia modern akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan berarti peningkatan kualitas kemanusiaan secara moral dan spiritual. Biarpun manusia sekarang itu lebih modern, namun mereka tetap ‘primitif’ dalam nilai-nilai kemanusiaan dan ‘buas’ dalam tingkah lakunya. Hal ini bisa dilihat dari munculnya Naziisme Jerman yang cukup mrngerikan dan jatuhnya bom atom oleh Amerika di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, serta Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang sempat menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. Kejadian ini tidak lepas dari pengaruh kemajuan di bidang iptek.
Lebih lanjut, pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan mengancam kelestarian bumi sebagai tempat pijak manusia. Perlombaan senjata nuklir yang belakangan ini semakin marak makin menambah daftar negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan senjata nuklir yang semula untuk tujuan mulia kemanusiaan, malah menciptakan ancaman maha besar bagi kelanjutan peradaban manusia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat pisau belati. Jika dipakai orang baik, akan menciptakan kemakmuran bagi manusia. Sebaliknya jika dipakai orang jahat, akan menciptakan bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat. Jenis kedua inilah yang sekarang tengah terjadi pada dunia. Akhirnya, ilmu pengetahuan yang seharusnya membebaskan manusia dari pekerjaan yang melelahkan spiritual, malah menjadikan manusia sebagai budak-budak mesin.

2.4         Kegunaan Aksiologi  Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
a.    Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
b.    Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
c.    Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
2.5         Hubungan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya be rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.[[8]]

2.6         Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu
2.6.1   Ilmu dan Moral
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “ bumi yang berputar mengelilingi matahari “ dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbulah interaksi antara ilmu dan moral ( yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya (netralitas ilmu), sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari (Sumantri, 1996).
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan –penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis (bersifat manipulatif) atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk kongkrit yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut.
Dalam tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Kalau dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan (kegunaan ilmu).
Tidak dapat dipungkiri peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Namun dalam kenyataannnya apakah ilmu selalu merupakan berkah, dan bukan musibah yang membawa manusia dalam malapetaka dan kesengsaraan.
Sejak dalam tahap-tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia. Berbagai macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan dan berbagai teknik penyiksaan diciptakan.
Dewasa ini ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust, “ meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal Carl Gustav Jung, “ melainkan Faust yang menciptakan Goethe.[9]
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmuwan abad 20 tidak boleh tinggal diam, si pemilik ilmu ini harus mempunyai sikap. Ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa suatu landasan moral yang kuat seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang tokoh seperti Frankenstein yang menciptakan momok kemanusiaan yang merupakan kutuk.
Berkaitan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat, sebagai berikut:[10]
a.    Golongan I
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengatahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya; apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk.
b.    Golongan II
Ilmuwan golongan kedua berpendapat sebaliknya. Menurut mereka netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuwan harus berlandaskan asas-asas moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
1.      Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuwan.
2.      Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin eksoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang akibat-akibat yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan.
3.      Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti kasus revolusi genetika.
Berdasarkan ketiga hal diatas maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan umat manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusian.

2.6.2   Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Ilmu merupakan hasil karya seseorang yang dikomunikasikan dan dikaji secara luas oleh masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya ilmiah itu, akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka jelaslah jika ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar, bukan saja karena ia adalah warga masyarakat, tetapi karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan, tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi juga bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta bertanggung jawab dalam mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalah gunakan. Selain itu pula, dalam masyarakat seringkali terdapat berbagai masalah yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan daya analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan dari masalah tersebut. Seorang ilmuwan dengan kemampuan berpikirnya mampu mempengaruhi opini masyarakat terhadap suatu masalah. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan adalah dalam bidang etika. Dalam bidang etika ilmuwan harus memposisikan dirinya sebagai pemberi contoh. Seorang ilmuwan haruslah bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat-sifat lainnya, merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah. Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu. Sudah seharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri tauladan dalam masyarakat.
Dengan kemampuan pengetahuannya, seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
Di bidang etika, tanggung jawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang memepergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
Menurut Jujun S.Sumantri dalam Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer[11], tanggung jawab sosial ilmuwan meliputi antara lain :
a.         Kepekaan/kepedulian terhadap masalah-masalah sosial di masyarakat.
b.        Imperatf, memberikan perspektif yang benar terhadap sesuatu hal : untung dan ruginya, baik dan buruknya ; sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
c.         Bertindak persuasif dan argumentatif (berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya).
d.        Meramalkan apa yang akan terjadi ke depan.
e.         Menemukan alternatif dari objek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian.
f.         Memberitahukan kekeliruan cara berfikir.
g.        Menegakkan/menjunjung tinggi nilai kebenaran (universal)
Dalam kenyataannya tidaklah mudah bagi ilmuwan untuk memikul tanggung jawab sosial dibahunya. Tetapi seorang ilmuwan yang dikaruniai kecerdasan intelektual dan memiliki nilai-nilai moral yang luhur akan dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik demi kelangsungan kehidupan manusia di dunia ini.

2.6.3   Nuklir dan Pilihan Moral
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain. Para ilmuwan bersifat netral pada hal kemanusiaan. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara para ilmuwan bersifat universal untuk mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama, dan rintangan lainnya yang bersifat sosial. Salah satu musuh manusia adalah peperangan yang akan menyebabkan kehancuran, pembunuhan, kesengsaraan, peperangan merupakan fakta dari sejarah. Tugas para ilmuwan ialah untuk mengecilkan atau menghilangkan terjadi peperangan walaupun hal ini sangat mustahil. Tetapi, seorang ilmuwan Einstein tak jemu menyerukan agar manusia menghentikan peperangan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan kemanusiaan, atau sebaliknya disalahgunakan. Seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan – penemuannya dalam bentuk apapun dari masyarakat luas serta apapun juga yang akan menjadi konsekuensinya. Seorang ilmuwan yang berlandaskan moral akan memilih untuk membuktikan bahwa generasi muda kita berkesadaran tinggi atau membuktikan bahwa hasil pembangunan itu efektif maka dalam penemuannya dia bersifat netral dan membebaskan diri dari semua keterikatannya yang membelenggu dia secara sadar atau tidak. Kenetralan dalam ilmu menjadikannya bersifat universal. Ilmu mengabdi kemanusiaan dengan ilmiah. Kemanusiaan seorang ilmuwan tidak terlepas oleh ruang bahkan waktu. Penemuan yang kurang relevan dan tidak gunanya hari ini akan menjadi batu loncatan menuju masa depan.
Kenetralan dalam proses penemuan para ilmuwan yang mengharuskan ilmuwan bersikap dalam menghadapi bagaimana penemuan itu digunakan. Jika ilmu pengetahuan dipergunakan tidak sebagaimana mestinya maka akan timbul kutukan dan ilmuwan harus tampil ke depan serta harus bersikap.

2.6.4   Revolusi Genetika
Ilmu dalam persfektif sejarah kemanusiaan mempunyai puncak kecemerlangan masing- masing, namun seperti kotak Pandora yang terbuka kecemerlangan itu membawa malapetaka. Dengan penelitian genetika, kita tak lagi menelaah organ – organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi kemudahan, melainkan manusia sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi yang akan merubah manusia itu sendiri.
Rekayasa yang cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan (dehumanisme) dan mengubah hakikat kemanusiaan. Hal ini menyebabkan kekhawatiran disekitar batas dan wewenag pengembangan ilmu, disamping tanggung jawab dan moral ilmwuan. Jika ilmuwan  melakukan telaahan terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal barangkali hal itu tidak menjadi masalah terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan teknologi yang dapat merawat atau membantu fungsi- fungsi organ tubuh manusia. Tapi jika sains mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung mengubah proses penciptaan manusia. Seperti kasus dalam kloning, bayi tabung sehingga hal inilah yang menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan ilmu.






BAB III
PENUTUP

3.1         Simpulan
Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik – baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan.
Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia.
Ilmu menghasilkan teknologi yang diterapkan dan dikembangkan pada masyarakat. Teknologi dalam perkembangannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga dapat menjadi bencana bagi manusia. Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.

3.2         Saran
Kepada para pembaca, di dalam penulisan makalah ini kami yakin terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi maupun penulisannya, hal itu disebabkan oleh terbatasnya ilmu yang kami milikioleh karena itu, kami berharap kepada para pembaca agar dapat memberikan kritik dan sarannya kepada kami supaya kami dapat lebih bisa mengembangkan tulisan kami berikutnya.




















DAFTAR RUJUKAN

Azyumardi, Azra. Tanpa Tahun. Integrasi Keilmuan. Jakarta : PPJM dan UIN Jakarta Press.
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Burhanuddin, Salam. 1997. Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Reneka Cipta.
Kattsoff, Louis O. 2004. Unsur-Unsur Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Sudarminta, J. 2002. Epstemologi Dasar : Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta : Kanisius.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangan di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Wihadi, Admojo, et.al. 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.










[1] Admojo Wihadi, et.al.. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1998, hal: 19
[2] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2009, hal: 149
[3] Burhanuddin salam, Logika Materil, Filsapat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. Ke-1, hal. 168
[4] Jujun S. Suria Sumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1990, hal: 234
[5] Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. 2007, hal: 152
[6] Louis.O. Kattsoff, Unsur-Unsur Filsafat, (Yokyakarta: Tiara Wacana, 2004), hal: 319
[7] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2009, hal: 163
[8] Azra Azyumardi, Integrasi Keilmuan, (Jakarta: PPJM dan UIN Jakarta Press).  Hal. 90
[9] Jujun S. Suria Sumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1990, hal: 235
[10] Jujun S. Suria Sumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1990, hal: 235
[11] Jujun S. Suria Sumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1990, hal: 234